![]() |
Foto: Istimewa |
MINAHASA, Komentar.co - Harmoni tanpa suara merambat di antara nyanyian pujian saat lonceng Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) Imanuel Buntong, Desa Tateli Satu, mulai berdentang memanggil jemaat untuk bersyukur dalam perayaan Ibadah Natal, Kamis (25/12/2025).
Di sana, di depan rumah ibadah umat Kristen tersebut, sejumlah warga Muslim berdiri tegap. Bukan sebagai tamu undangan, melainkan sebagai penjaga keteduhan, bergabung bersama Panji Yosua dan anggota Kepolisian.
Di saat seluruh Jemaat GMIM Imanuel Buntong melipat tangan dalam doa yang khusyuk, saudara-saudara Muslim mereka "Pasang Badan' guna memastikan setiap bait doa terucap tanpa gangguan.
Momen menyentuh ini mencuat ke permukaan setelah Saiful Samsudin, salah satu warga Muslim yang ikut dalam pengamanan tersebut, membagikan potret kerukunan itu melalui akun Facebook pribadinya.
Baginya, kehadiran umat Islam di tengah perayaan Ibadah Natal bukan sekadar rutinitas pengamanan, melainkan sebuah pernyataan sikap.
"Di saat lonceng gereja berdentang dan doa dipanjatkan, kehadiran umat Islam yang menjaga keamanan saudara Kristiani menjadi pesan sunyi bahwa damai dijaga bersama, tanpa memandang perbedaan," tulis Saiful Samsudin dalam unggahan yang kemudian memantik simpati publik.
Kalimat sederhana namun mendalam, "Ibadah jo ngoni, nanti trg jaga di luar" (Silakan kalian beribadah, biar kami yang berjaga di luar), menjadi semboyan yang meruntuhkan sekat-sekat perbedaan.
Menurut Saiful, menjaga saudara yang sedang beribadah adalah pengejawantahan dari ajaran Islam tentang kasih, amanah dan kemanusiaan.
Bagi masyarakat Sulawesi Utara, tradisi hidup rukun ini adalah warisan leluhur yang terus dijaga di tanah Toar Lumimuut.
Saiful mengibaratkan keberagaman di Indonesia seperti fenomena alam yang indah.
"Perbedaan itu ibarat pelangi, tidak akan indah kalau warnanya hanya satu," tambahnya.
Di titik inilah, kualitas kemanusiaan seseorang diuji: sejauh mana seseorang mampu menghormati orang lain meski tidak berjalan di atas keyakinan yang sama.
Aksi ini tidak hanya menjadi simbol di lapangan, tetapi juga memicu gelombang sentimen positif di ruang digital.
Unggahan tersebut dibanjiri komentar yang memperkuat semangat kebangsaan. Salah satunya dari akun Hamija Mudjimu yang menekankan bahwa rasa aman adalah hak universal.
"Rasa aman dan damai adalah milik semua orang tanpa memandang suku, agama, dan ras. Semoga hal ini tetap terjaga sepanjang masa karena Torang Samua Basudara (Kita Semua Bersaudara). Salut buat kalian," tulisnya di kolom komentar.
Apa yang terjadi di Desa Tateli Satu pada Natal 2025 ini menjadi potret kecil dari wajah besar Indonesia yang dicita-citakan.
Di tengah dinamika global, masyarakat Minahasa kembali membuktikan bahwa kerukunan bukan sekadar jargon politik, melainkan napas kehidupan sehari-hari.
Potret kerukunan yang kembali menghiasi sukacita Natal di Bumi Nyiur Melambai ini menjadi pengingat bagi seluruh negeri: bahwa ketika keamanan dijaga dengan kasih, maka kedamaian bukan lagi sebuah kemustahilan.
Di Tateli, Natal tahun ini bukan hanya milik satu kaum, tapi merupakan perayaan kemanusiaan bagi semua. (ven)





