Notification

×

Iklan

Mawati Sesalkan, Banggar dan TAPD Minut TA 2019 Diduga Terseret Kasus Dugaan Mark Up Lahan RSUD MWM

Thursday, January 12, 2023 | 15:08 WIB Last Updated 2023-01-20T17:16:29Z


MINUT, Komentar.co -
Tak disangka kasus dugaan pengadaan lahan RSUD Maria Walanda Maramis (MWM) Kabupaten Minahasa Utara (Minut) dengan biaya Rp 19,5 miliar untuk laham seluas 1,9 hektar ternyata mengarah bahkan disuga kuat bakal menyeret sejumlah politisi dan birokrat pada masa pemerintahan Bupati Minut di periode sebelumnya.

Pasalnya, dalam proses pengadaan lahan MWM itu realisasinya melanggar Undang-undang Nomor 2 tahun 2012 tentang penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

“Ada sejumlah prosedur menurut undang-undang yang harus dilakukan dalam pengadaan lahan, dimulai dari perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan selanjutnya penyerahan hasil,” ujar pegiat hukum Sulut, Mariyam Mawati, SH.

Menurut alumni Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi ini, sistem dm tahapan yang dikeluarkan pemerintah, konteks pengadaan lahan RSUD MWM tentu telah melalui tahapan perencanaan. Dirinya menilai, lokasi tanah yang akan dibeli pemerintah tentu saja sudah ditentukan.

“Karena yang pasti, akan melalui proses kajian diperuntukan bagi objek rumah sakit dan selanjutnya proses penetapan yang dikeluarkan oleh bupati tentang lokasinya,” ulas Mawati.

Dikatakan aktivis cantik berdarah Airmadidi Minut ini, sesuai amanah pasal 14 UU Nomor 2 tahun 2012, instansi yang memerlukan tanah harus membuat perencanaan pengadaan tanah.

Makanya perencanaan itu harus disesuaikan dengan rencana tata ruang seta lokasi tanah dan luas tanah yang dibutuhkan.

“Semuanya itu harus dibuat dalam bentuk dokumen dan harus jelas letak serta luasan tanah yang nantinya akan dibeli oleh instansi yang memerlukan tanah. Hal ini terdapat dalam pasal lima belas,” tegasnya.

Dengan demikian,0 penetapan atau persetujuan antara badan anggaran (Banggar) dan tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) menjadikan dokumen perencanaan ini sebagai dasar pembahasan untuk menentukan nilai yang dimasukan ke dalam APBD.

“Sampai di sini saya kira sangat jelas mengapa nilai pengadaan lahan dimasukdan dengan angka yang menurut saya tidak masuk di akal,” kata Mawatiu.

Penetapan angka senilai Rp 20 miliar untuk membebaskan lahan seluas 1,9 hektar adalah hal yang jelas-jelas merugikan negara karena luasan lahan yang akan dibebaskan serta lokasi yang rencananya dieksèkusi, tidak mencapai puluhan miliar.

“Kita lihat saja untuk per meter di tepi jalan lokasi RSUD itu hanya sembilan puluh tiga ribu rupiah NJOP-nya yang ditetapkan oleh badan keuangan pemerintah kabupaten. Itu pun tahun kemarin. Saya justru heran, tanah yang dibebaskan sekitar lima ratus meter jauhnya dari RSUD dianggarkan satu juta rupiah per meternya,” timpalnya.

Kondisi ini membuat Mawati merasa kasihan dengan keberanian pihak terkait, karena sudah berani meloloskan hal ini, padahal samgat berdmpak pada dugaan mark-up.

"Minut adalah kampung halaman saya, itulah sebabnya saya sangat menyesalkan hal ini," ujar aktivis pencinta Kukis (Kue) Bobengka Kenari ini.

Dikatakannya juga, sebagai pegiat dan pemerhati hukum ini, tak heran jika pihak penyidik Kejaksaan Tinggi Sulut dengan cepat, mengendus dan menmenangani perkara ini dapat medalami tahapan hingga proses penetapan harga pada kasus tersebut.

"Jelas ada kejanggalan yang melawan aturm dn hukum, terutama dalam hitungan harga. Dan bila Kajati Sulut mampu menuntaskan kasus ini, nama baik lembaga vertikal seperti Kejati Sulut," tandasnya. (Baker)





×
Berita Terbaru Update